Kalbu

Kalbuku tergores sepi, basah merah menetes darinya, bercucuran kemudian mengental di atas tilam kepasrahan. Bagai terbenam dalam amuk badai, jiwaku sempoyongan demi jumput sehelai perban tuk hentikannya, segera kubebat lukaku, namun sia-sia.
Jiwaku kini meranggas, terkulai di pojok ruang kehidupan. Pejam menahan nyeri. Tetes-tetes nyawa yang kugadai pada detik waktu kini hanyut meninggalkan kalbu yang mulai mengering ditinggalnya.

Duhai Sesembahanku yang merajai negeri Surga. Tinggalkanlah jejak kakiMu untuk ku ikuti, kan kujadikannya sebagai petunjuk tuk sebuah perjalanan mulia, penggenap, sebelum darah kalbuku melepaskan tetes terakhirnya.

Merindukanmu, Tuhan.

Kerinduanku

Kerinduanku memuncak. Imanku tlah mulai mengusik kedamaianku, menderaku dengan perasaan kosong yang memuakkan, membuatku tak tahan hingga melakukan aktifitas sewajarnya pun tak nyaman.

Kosong ini membawaku pada bayang-bayangku yang tlah lama kabur. Tentang kerinduanku. Tentang keinginanku. Tentang aku. Yang begitu inginkan tuk kembali, pada masa-masa dimana aku merasa sangat dekat denganNya. Saat-saat dimana kulantunkan namaNya dengan penuh khidmat. Waktu dimana hatiku menemukan damai ketika melafalkan doa dan bersujud padaNya. Menjadikan taubat dan maaf untuk setiap salah yang telah kuperbuat menjadi menu wajib diantara lantunan doa-doaku.

Ah, Kerinduanku begitu memuncak. Ingin ku temukan damai itu kembali. Menatap cerah keagunganNya. Sejenak merasakan surga.

Menikmati Malam

Riuh tawa riang anak-anak menyambut lebaran, ditemani lantunan doa khusyu yang bergema di rumah-rumah dan tempat peribadatan mulai mengisi dinginnya malam akhir-akhir ini. Seharusnya, moment semacam ini mampu memberi kebahagiaan dan kedamaian dalam hati. Namun, hati ini rupanya masih juga tak merasakan apapun.

Kini malam telah larut, menawarkan sejuta kesunyian untuk kunikmati. Dan masih seperti biasanya, kunikmati malam ini dengan berdiam diri di bawah lautan bintang di temani sepuntung rokok.
Kepulan demi kepulan keluar bersama penat yang kurasa. Namun semua itu tak juga buat ku puas, ada yang kurang, entah apa.

“Hey, loe lagi frustasi pa?”. Ah ! Seakan enggan beranjak pergi, kata-kata itu, masih juga terus terngiang di telinga. Satu kalimat tanya yang dilontarkan langsung oleh rekan pagi tadi yang mungkin menyadari kebiasaanku mulai berbeda akhir-akhir ini. Mulutku terkunci rapat. Hanya senyum tanpa katalah yang kuberikan untuk menjawab pertanyaannya itu.

Fiuh! Benar-benar menyita pikiran dan konsentrasi. Ya. Seperti itulah beban yang kurasakan kini. Dan naasnya, ide untuk menghempaskan semua penat ini masih juga tak kutemukan. Entah ide itu terselip di tumpukan akal mana, tak ku tahu. Yang jelas, ini membuatku kian menderita.

Bulan kini tlah berada di ufuk barat. Pagi rupanya telah menggeser sang malam. Namun beranjak ke peraduan walau hanya sekedar merebahkan diri pun, jasad ini enggan melakukannya. Penat ini terus saja memaksaku untuk membuka mata. Seakan mendukung pemberontakan jasadku yang kini lebih mencintai dinginya malam dan ingin menikmatinya hingga sang fajar tiba.

Hufft. Semoga mentari esok kan bawakan senyum penuh semangat, yang kan ia lukiskan di wajah ini. Wajah yang telah lelah bergelut melawan terpaan dingin angin, dan terus menghabiskan setiap inci malam dalam sunyi.