Waktu

Melihat sejenak kebelakang kupikir adalah ide buruk. Karena apa yang akan dihadapi adalah apa yang ada di bentangan depan, dan bukan di belakang. Seperti ketika berkendara dengan kecepatan tinggi, kemudian ingin menengok apa yang ada di belakang. Jika nekat melakukannya, tentu resiko buruk menjadi jaminannya.

Namun kali ini aku melakukannya. Ya, melakukannya. Sengaja. Dengan kecepatan yang bahkan lebih tinggi, dengan tanpa rem. Tentu. Karena apa yang kukendarai tak kan pernah ter-rem oleh apapun. Ialah waktu. Yang mangajariku banyak hal. Dan kupikir, menengok sejenak kebelakang bukanlah ide yang buruk. Bahkan ide cemerlang. Dari sanalah aku dapat berintrospeksi, telah sejauh manakah aku melangkah.

Sejenak, kurenungkan apa yang telah beralu di setiap episode waktu yang terangkai rapi dalam hidupku. Menggurai setiap file memori yang berisikan kejadian, dan peristiwa. Memerhatikan setiap lakon yang ada di setiap serinya. Merenungkan setiap pelajaran yang dapat ku ambil dari semua itu. Pelajaran yang mungkin dapat kubukukan satu saat karena begitu banyaknya. Dan di sana, kutemukan seorang yang tak ku kenal. Seorang asing. Sosok muda yang tegar, penuh ingin tahu, namun juga begitu polos. Memerhatikan setiap tindakannya mampu membuatku tersenyum. Dan kupikir, aku menyukainya. Dialah sang tokoh utama. Sosok yang begitu kurindukan. Aku kecil.

Di masa lalu, aku selalu berharap untuk menjadi lebih bijak dengan segala hal yang telah berlalu. Berharap setiap peristiwa kan jadikanku orang yang lebih baik dan mapan. Namun sudahkah aku melakukannya. Semua itu kupertanyakan kepada diriku sendiri. Mungkin sudah, mungkin belum. Dan hanya waktu kan tunjukkan segalanya. Dan dia jugalah yang kan tunjukkan padaku tentang kebijaksanaan, bingkisan kecil untuk kehidupanku yang kini sedang tumbuh membesar.

The Astronom

Dulu waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku senang sekali membaca buku-buku yang berkaitan dengan kosmos, perbintangan, luar angkasa, galaksi, dan sistem tata surya. Begitu senangnya diriku, hingga aku sering sekali menghabiskan waktu di perpustakaan. Mencari dan membaca setiap buku yang berkaitan dengan semua itu. Namun aku tak sendiri disana. Di perpustakaan itu, aku terkadang betemu dengan beberapa temanku yang asik membaca cerita bergambar, folklore, atau komik. Mereka duduk manis, membaca buku di depannya dengan wajah ceria. Hingga akhirnya, aku tertarik dan melakukan hal yang sama. Namun hal itu berakhir hanya dalam hitungan hari, karena kecintaaku pada kosmologi, mengalahkannya. Aku tak dapat jauh dari buku tentang kosmologi. Buku tebal dengan sedikit gambar sebagai penjelas, bukti atau ilustrasi di dalamnya. Aku sangat menyukainya.

Kegilaanku terhadap kosmos tak hanya sampai disitu. Setiap malam. Dengan penuh rasa penasaran, kutengadahkan wajahku ke langit. Melihat semua yang ada di sana. Memerhatikannya. Menyelisik setiap bintang, planet, dan segala hal yang ada di langit yang mampu kulihat secara kasat mata. Bagiku, tak ada yang lebih indah dan menyenangkan dari semua itu. Tentu. Karena aku sedang menikmati sebuah mahakarya ciptaanNYA yang sangat memukau. Jagat Raya.

Banyak hal yang kutemukan waktu itu. Beberapa yang masih kuingat dengan jelas adalah benda-benda melayang yang terkadang berwarna merah, hijau, kuning, atau bahkan biru yang kemudian kuketahui bahwa benda itu adalah satelit yang terlihat berwarna akibat terkena efek cahaya aurora. Dan masih banyak penemuan lain yang kutemukan waktu itu. Semuanya kucatat dalam sebuah buku yang hingga kini masih kusimpan dengan baik. Dan. Hanya jadwal tidur atau harus masuk rumah karena sudah terlalu lama diluarlah yang akan mengentikan pengamatanku. Mengganggu memang. Karena aku sedang bersenang-senang dengan apa yang aku cintai.

Ah, Ingin aku kembali. Ke masala lalu. Menghabiskan waktu di bawah langit malam. Berbincang panjang lebar dengan anak itu. Si astronom kecil. Pasti menyenangkan.

Kalbu

Kalbuku tergores sepi, basah merah menetes darinya, bercucuran kemudian mengental di atas tilam kepasrahan. Bagai terbenam dalam amuk badai, jiwaku sempoyongan demi jumput sehelai perban tuk hentikannya, segera kubebat lukaku, namun sia-sia.
Jiwaku kini meranggas, terkulai di pojok ruang kehidupan. Pejam menahan nyeri. Tetes-tetes nyawa yang kugadai pada detik waktu kini hanyut meninggalkan kalbu yang mulai mengering ditinggalnya.

Duhai Sesembahanku yang merajai negeri Surga. Tinggalkanlah jejak kakiMu untuk ku ikuti, kan kujadikannya sebagai petunjuk tuk sebuah perjalanan mulia, penggenap, sebelum darah kalbuku melepaskan tetes terakhirnya.

Merindukanmu, Tuhan.